Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik Pencipta: Anonim Perusahaan Rekaman: Antara Group Aku duwe pitik cilik Wulune blirik Cucuk kuning jengger abang Tarung mesti menang Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik tukung Buntute buntung Saben dino mangan jagung Mesti wani tarung Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik trondol Wulune protol Mlakune megal megol Tarung mesti notol Sopo wani karo aku Musuh pitikku
Sumber Gambar: Pasar Dana |
Tak Tersentuhnya Bank oleh Petani pada Era Globalisasi
Yahya Yoga
Budiman
(15820059)
(15820059)
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
Abstrak
Hasil survei Bank Dunia pada tahun
2010 menunjukan baru 19,6 persen warga dewasa di Indonesia mempunyai rekening
bank. Fakta ini membuat mata umum terfokus pada satu titik dimana orang-orang
yang dipandang ekonominya rendah adalah penyebab dari keadaan ini, dan yang
terjadi, petanilah yang sering menjadi objek tersalah dimata umum atas status
orang-orang tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa peneliti ingin
mengupas bagaimana keberadaan bank dimata petani atas dugaan ini, melihat pula
adanya tuntutan globalisasi yang memaksa, sehingga atas penelitian ini pembaca
dapat melihat keadaan apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia ekonomi, terutama
di balik layar dunia perbankan di mata petani pada era globalisasi.
Metode dokumentasi adalah metode
yang digunakan peneliti, dengan mengumpulkan data dari beberapa literatur baik
buku, majalah, maupun internet. Hasil dari penelitian ini, dapat dikatakan
bahwa tidak hanya petani yang menyebabkan keadaan dimana jumlah kepemilikan
rekening bank yang rendah terjadi, namun juga bank sendiri enggan dan tidak
percaya jika menerima petani sebagai nasabahnya, karena tingkat kegagalan akan
besar, keuntungan relatif kurang, dll.
Kata Kunci:
Globalisasi, Perbankan, Petani
1.
Pendahuluan
Kita mengetahui bahwa
keberadaan kita saat ini ada pada keberadaan yang menuntut semuanya harus serba
cepat dan efesien. Hingga kemudian tak heran jika banyak bermunculan
inovasi-inovasi baru dalam segala bidang, yang ditujukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Sosial, pendidikan, ekonomi sama saja, disimbolkan dengan telepon
gengam, koneksi internet, komputer, kalkulator, pesawat, mobil, dan montor.
Bahkan, muncul pula yang dinamakan bank sebagai badan yang membantu dalam sendi
pengelolaan keuangan.
Hal ini terus berkembang
menjadikan bank sebagai sendi yang paling berpengaruh dalam perekonomian. Dalam
UU NO.10 tahun 1998 dikatakan, bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa
perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa,
diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan dan dalam menghadapi perkembangan
perekonomi-an nasional yang senantiasa bergerak cepat,
kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin
kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi,
termasuk perbankan.[1]
Ketika banyak yang gelisah dengan banyak uang yang dipunyai, lalu muncul
kekuawatiran bagaimana nanti jika dirampok, dicuri, atau bahkan hilang, bank
menjawabnya, dengan menawarkan untuk dititipkan kepadanya, bisa diambil kapan
dan dimana saja, asal menuruti kebijakan yang ditetapkan. Ketika pula banyak
yang gelisah bagaimana mencari pinjaman uang untuk keperluan usaha, bank pula
menjawabnya dengan memberi tawaran pinjaman dengan kebijakan yang ditetapkan
pula. Di luar dari kedua itu ada pula transfer uang dan setoran pajak melalui sms
banking, atau bisa juga melalui internet banking.[2]
Namun layanan-layanan
yang ditawarkan ini melihat era globalisasi yang memaksa, hanya dapat mendorong
sebagian masyarakat menggunakan jasa bank. Hasil survei Bank Dunia pada tahun
2010 menunjukan baru 19,6 persen warga dewasa di Indonesia mempunyai rekening
bank.[3]
Fakta ini membuat mata umum terfokus pada satu titik dimana orang-orang yang
dipandang ekonominya rendah adalah penyebab dari keeadaan ini, dan yang
terjadi, petanilah yang sering menjadi objek tersalah dimata umum atas status
orang-orang tersebut, melihat selama ini bank hanya bisa dirasakan oleh dosen, pegawai,
dokter, dan pejabat yang notabene adalah orang-orang yang berada.
Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa peneliti ingin mengupas bagaimana keberadaan bank
di mata petani atas dugaan ini, melihat pula adanya tuntutan globalisasi yang
memaksa, sehingga atas penelitian ini pembaca dapat melihat keadaan apa yang
sebenarnya terjadi dalam dunia ekonomi, terutama di balik layar dunia perbankan
di mata petani pada era globalisasi. Metode dokumentasi adalah metode yang
digunakan peneliti, dengan mengumpulkan data dari beberapa literatus baik buku,
majalah, maupun internet.
2. Pembahasan
a. Menyelami Arti Globalisasi
Bumi dan
langit menjadi saksi bisu hadirnya sebuah zaman dimana orang-orang-orang tak
lagi berjalan menempuh jarak jauh dalam waktu yang lama; dimana orang-orang tak
lagi menahan gelisah akan kabar yang dikirimkan tiba dalam waktu yang lama; dan
dimana orang-orang tak perlu lagi kuatir ke mana harus menyimpan uang yang
terjamin keamanannya pula dalam waktu yang lama. Era globalisasi menjadi era yang
diharapkan pula ditakutkan. Sebuah hal atau kata yang mengerikan dengan makna
yang kabur, pertama dipakai pada tahun 1960-an, dan menjadi mode yang semakin
populer pada tahun 1990-an.[4]
Globalisasi bagi Profesor Giddens adalah kekuatan tak terbendung, mengubah
segala aspek kontemporer dari masyarakat, politik, dan ekonomi.[5]
David Henderson, mantan ekonom kepala Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan mendefenisikan globalisasi sebagai pergerakan bebas barang, jasa,
buruh, dan modal sehingga menciptakan pemasukan pula pengeluaran; dan
pemberlakuan bersifat nasional terhadap investor asing (serta warga nasional
yang bekerja di luar negeri).[6]
Kita bisa mengatakan ini dengan sebuah gerakan yang bersifat seperti bola
salju. Artinya ini terus berkembang, dan terus berkembang menjadi hal atau
masalah yang lebih besar. Kita juga bisa mengatakan ini dengan interaksi
internasional, dimana dunia seakan mengkerut jarak yang selama ini menjadi
alasan bukan lagi menjadi beban. Tak ada lagi jarak. Peningkatan luar biasa
dalam kehidupan kita untuk berkomunikasi dan mengakses informasi.
b. Antara Globalisasi dan Perbankan
Kita tidak memungkiri
bahwa tegnologi dirasa menjadi unsur yang menentukan bagi globalisasi. Hal ini
dikarenakan adanya keharusan akan hadirnya sebuah alat yang bisa mengkoneksikan
antara hal-hal yang bersifat kejauhan. Ini bisa kita rasakan pada kasus
perbankan yang dihadirkan dalam rangka menghadapi sistim keuangan yang maju dan
kompleks. Tercatat sebagai pemilik tabungan bank adalah cara praktis memasuki
sistim keuangan dan mendapat akses layanan keuangan.[7]
Padahal, kita menginjak situasi dimana globalisasi hadir dalam udara tempat
tinggal kita. Kita bisa saja nggledak-nggledak sebagai negara yang
tertinggal, kalah dalam kompetisi perkembangan perekonomian. Angka kepemilikan
tabungan atau rekening bank dan rasio terhadap pendapatan domestik bruto harus
menjadi gambaran betapa kepemilikan rekening bank menjadi salah satu indikasi
“ketimpangan” akses layanan keuangan (mengoptimalkan segala sumber daya dan
modal yang ada).[8]
c. Petani yang Tersalahkan
Lebih dari dua miliar
orang dewasa di dunia belum tersentuh layanan perbankan (unbanked).
Mayoritas ada di negara berkembang atau dunia ketiga.[9]
Hal ini searah dengan hasil survei Bank Dunia terhadap kepemilikan rekening
bank di indonesia yang telah di cantumkan dalam pendahuluan. Namun Filipina,
yang keadaan negaranya hampir sama dengan indonesia justru dapat melampaui
dengan 26,5 persen kepemilikan orang dewasa terhadap rekening bank. Kemudian
yang menjadi objek permasalahannya adalah, bahwa tuduhan yang menjadi penyebab
situasi ini adalah orang-orang yang terbelakang ekonominya, dan hal ini
dikait-kaitkan kepada petani, golongan miskin yang masih menguasai
sarana-sarana produksi meskipun sarana produksi kurang mencukupi.[10]
Ini juga erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi, menjadi pola kegiatan yang
menggabungkan faktor-faktor produksi untuk mencapai produk-produk ekonomi pada
tingkat yang lebih tinggi dan lebih luas dari tingkat produksi sebelumnya, agar
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang semakin meningkat, karena dituntut oleh
pertambahan penduduk dan pertumbuhan nilai-nilai hidup yang selalu memperluas
atau mengubah wawasan kebutuhan manusia (globalisasi). Faktor-faktor produksi
tersebut memerlukan infrastruktur kelembagaan (pemerintah, organisasi
perusahaan, koperasi, perbankan, maupun perorangan) untuk membina dan melakukan
penggabungan baik untuk produksi maupun distribusi.[11]
Peneliti ingin
mengatakan bahwa hal ini benar tetapi tidak sepenuhnya, bahwa golongan miskin
yaitu petani yang menjadi penyebab atas masalah ini. Peneliti mengatakan benar
karena peneliti menemukan beberapa data. Memang petani tidak menyentuh bank
karena alasan mereka tempatnya yang cukup jauh, rumit dan harus antre. Hal ini didukung
atas penemuan data yang peneliti dapatkan. Bahwa di Kebumen, ada fenomena unik
Ada bank di warung. Seperti halnya warung-warung pada umumnya, yang menjual
aneka bahan pangan, hanya saja perbedaannya terlihat pada adanya bank di
dalamnya.[12]
Kemudian komentar dari nasabah warung tersebut ada pada kedekatan, kemudahan, dan tidak antre.
Belum berhenti di sini, ada lagi data yang peneliti temukan bahwa alasan
lain mengapa mereka (petani) tidak menggunakan bank adalah karena takut akan
habis uangnya. Hal dapat kita baca bahwa, mereka takut pada bunga. Turisno,
seorang sekertaris kelompok tani di Kecamatan Gombong mengatakan,”Sekarang di
bank harus menabung dengan ketentuan nominal. Artinya kalau menabung kurang
dari Rp1 juta, uangnya makin berkurang-berkurang. Kalau menabung Rp200.000
selama dua tahun tidak ditambah malah
justru habis”.[13]
Mengapa tadi peneliti mengatakan tidak sepenuhnya, karena
di balik layar, peneliti menemukan data yang berseberangan dengan temuan
data-data sebelumnya, bahwa petani yang menjadi penyebab situasi ini. Justru
saya menemukan bahwa bank yang menjadi penyebab situasi ini. Mereka tidak mau
atau enggan menerima petani sebagai nasabahnya. Persoalan mendasar dalam
penyaluran oleh bank pelaksana, dengan tingkat resiko kegagalan yang besar;
nasabah kecil-kecil dan terpencar; keuntungan bank yang relatif kecil; kurang
atau tidak memenuhi persyaratan kredit; dan kesulitan dalam mengumpulkan
pembayaran hutang dari petani, maka hampir dapat dipastikan pihak bank kurang
berminat menyalurkan KKP-E ini dibanding program kredit lainnya dalam skala
besar. Sementara itu menerapkan aturan perbankan sesuai aturan kredit umum,
akan sangat sulit diterapkan bagi petani kecil, sehingga perlu adanya tahapan
pemberian kredit bagi petani sesuai kemampuan dan keadaan usaha taninya, yang
salah satunya melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP–E).[14]
3. Penutup
Hasil dari penelitian ini, dapat
dikatakan bahwa tidak hanya petani yang menyebabkan keadaan dimana jumlah
kepemilikan rekening bank yang rendah terjadi, namun juga bank sendiri enggan
dan tidak percaya jika menerima petani sebagai nasabahnya, karena tingkat
kegagalan akan besar, keuntungan relatif kurang, dll. Seandainya saja terdapat
kepercayaan satu sama lain pastilah akan memunculkan keseimbangan dalam sistim
pengelolaan uang yang semakin maju, kompetitif, dan komplek, sehingga kita
dapat bertahan, berdiri di atas arus globalisasi. Jika kepercayaan terjadi,
Petani juga dapat mengembangkan hasil produksinya baik segi kuantitatif maupun
kualitatif dari dana yang disalurkan. Hal ini juga akan menambahkan PDB negara,
seperti yang telah disinggung pada pembahasan tadi.
Daftar Bacaan
1.
Bank Indonesa,
“Undang-Undang BI” diperoleh 2 januari 2016 dari http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Contents/Default.aspx.
2.
Bank BRI, “Internet
Bangking BRI” diperoleh 5 januari 2016 dari https://ib.bri.co.id/ib-bri/Login.html.
3.
Franciska, Christine, “Ketika Warung Melayani Nasabah
Bank” diperoleh 5 januari 2016 dari
4.
Harahaf, Ali Bosar,
“Petani Dalam Mengusahakan Tanaman Tanam” diperoleh 5 januari 2016 dari
5.
Newsletter Bank
Indonesia, edisi 39, Juni 2013.
6.
Wolf, Martin, 2007. Globalisasi
Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
7.
Prisma 1, januari 1981.
[3] Susanto, “Antara Jalur Cepat dan Lambat”,
Newsletter Bank Indonesia, edisi 39, Juni 2013, hal-4.
[4] Martin Wolf, Globalisasi Jalan Menuju
Kesejahteraan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal-15.
[5] Ibid., hal-16.
[6] Martin Wolf, Globalisasi Jalan Menuju
Kesejahteraan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007) hal-16.
[7] “Merangkul yang Tertinggal”, Newsletter
Bank Indonesia, edisi 39, Juni 2013, hal-2
[8] Ibid.
[9] Susanto, op. cit. hal- 4.
[10] A.H.G Nusantara, “Bantuan Hukum”, Prisma
1, januari 1981, hal-40.
[11] S. Hartono dan A. Widjaja, “Ekonomi Pancsila”,
Prisma 1, Januari 1981, hal-6.
[13] Ibid.
[14] KKP-E adalah pengkhususan untuk tanaman
pangan, adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan
kepada petani, dalam rangka pembiayaan intensifikasi padi, jagung kedelai, ubi
kayu dan ubi jalar, kacang tanah dan atau sorgum, serta kepada koperasi dalam
rangka pengadaan pangan berupa gabah, jagung dan kedelai. http://m.tabloidsinartani.com/, diakses pada tanggal 5 januari 2016 pukul 1:22.
Comments
Post a Comment