Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik Pencipta: Anonim Perusahaan Rekaman: Antara Group Aku duwe pitik cilik Wulune blirik Cucuk kuning jengger abang Tarung mesti menang Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik tukung Buntute buntung Saben dino mangan jagung Mesti wani tarung Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik trondol Wulune protol Mlakune megal megol Tarung mesti notol Sopo wani karo aku Musuh pitikku
Book Report- Tafsir Jawa: Eksposisi Nalar Shufi-Isyari Kiai Sholeh Darat (Kajian Atas Surat al-Fatihah Dalam Kitab Faidl al-Rahman)
Book Report ini ditulis oleh Muhammad Mansur (Dosen Ilmu AL-Qur'an dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga) yang admin temukan dalam acara Bedah Buku Sersantara PBSB UIN Sunan Kalijaga 2018. Beliau memberi judul report-nya dengan "Menguak Sejarah Awal Modernisasi Studi Qur'an di Nusantara"
“ini
merupakan sebuah eksperimentasi akademik yang cerdas dan kreatif, sebab beliau
mampu meretas kebuntuan konflik epistimologi antara nalar bayani... dan nalar ‘irfani...”
(I)
Kutipan
di atas adalah potongan sebuah paragraf dalam “kata pengantar” musannif kitab “Tafsir Jawa” yang paling “menggigit”
dari sekian pernyataan lain dalam buku ini. Mengapa demikian? Karena banyak hal
dapat dipetik darinya baik yang menyangkut epistem penyusunnya maupun capaian prestasi
dari karya yang menjadi objek kajian dalam berkontribusi terhadap perkembangan
keberislaman nusantara dikemudian hari, terutama masa depan Studi Qur’an di
Indonesia.
Hal
yang patut dicatat dari statement di atas tentang penyusunnya adalah bahwa
beliau dalam kapasitasnya sebagai peneliti menandakan posisi dirinya sudah
berpengalaman dengan sejarah nalar/epistem Islam Arab. Ini karena terma bayani dan irfani yang dipasang sebagai bingkai kajiannya ke depan menciptakan
branding dari nalar Arab Islam. Fakta
inilah yang dapat disaksikan dari paparannya tentang diskursus Sufisme sebagai
representasi nalar ‘irfani pada bab
pertama dari buku ini.
Kemudian jika ditilik dari sudut Faid al-Rahman yang menjadi objek kajian dari “Tafsir Jawa” ini, kutipan di atas menunjukkan sebuah apresiasi penulis yang cerdas juga. Hal ini karena musannifnya sangat tajam dalam menangkap peran yang dimainkan Faid al-Rahman di atas panggung pentas dinamika sejarah keberislaman muslim Indonesia, sehinga cukup berdasar kalau tafsir ini diberikan label sebagai eksperimentasi akademik yang cerdas dan kreatif. Karena alasan inilah tampaknya yang membawa penyusun perlu mengidentifikasi kontribusi Syekh Abu Ibrahim Muhammad Shakhr Ibn Umar al-Samarani dalam bab selanjutnya (Insya Allah)
(II)
Di
awal sudah disinggung betapa kerangka epistem
nalar Arab Islam telah membingkai pembacaan penyusun kitab “Tafsir Jawa” atas
peran pentingnya kitab Faid al-Rahman
dalam meretas kebuntuan konflik epistimologi bayani versus ‘irfani.
Sebegitu
istiqomahnya pemasangan bingkai sejarah nalar Arab ini sehingga dalam unit-unit
pembahasan buku ini tidak tersedia ruang untuk pemetaan epistem keislaman jawa
atau nusantara saat itu. Sebenarnya alasan penulis memberikan judul karyanya
ini dengan “Tafsir Jawa” yakni lantaran tafsir ini lahir dalam ruang sosial dan
masyarakat jawa, sudah cukup memberikan harapan kepada pembaca untuk
mendapatkan penjelasan” tantangan” sosial jawa untuk Faid al-Rahman.
Mengapa
hal ini perlu eksplor lebih jauh? Sebab dari sinilah lansung dapat ditangkap
betapa signifikannya kontibusi Faid
al-Rahman bagi perkembangan Studi Qur’an di Nusantara beberapa indikator
dalam tafsir Faid al-Rahman yang
menandai adanya kegelisahan intelektual Kyai Sholeh Darat dalam membaca
zamannya dapat ditemukan antara lain di dalam muqoddimahnya. Penekanan Kyai Sholeh Darat atas kata “tadabbur”, “angen-angen”, “mikir”, sudah dapat menghadirkan peranannya sebagai
penanda lahirnya babak baru kajian Qur’an di Nusantara. Bahkan di bagian lain
dalam muqoddimahnya al-Syekh Abu Ibrahim Ini menyebut sebagai “wong mubtadi’”
bagi pengkaji al-Qur’an yang merasa cukup “miturut
apa unine para musannifin” atau “ora
ngango mikir pang-pange ayat lan ora mikir istimbate ayat marang ngelmu liyane”.
Selain
tantangan internal dari elit santri pengkaji al-Qur’an dan tafsir seperti
implisit dalam pembukaan tafsir Faid al-Rahman di atas, ada juga tantangan
eksternal berupa resepsi atas al-Qur’an di kalangan muslim “awam” cerita yang
berkembang disekitar munculnya ungkapan “habis gelap terbitlah terang” dari RA
Kartini lepas dari sahih daifnya kisah tersebut, kiranya cukup meneguhkan peran
sentral Faid al-Rahman bagi pergeseran paradigma kajian Qur’an di Nusantara.
(III)
Wal
Hasil, harus diakui bahwa buku ini sangat inspiratif bagi para peneliti Qur’an
milenial. Paling tidak kepekaan dalam mengidentifikasi problem penelitian
Qur’an dan Tafsir terutama karya-karya tafsir nusantara yang belum tercover
oleh literatur sejarah tafsir. Akhirnya buku ini berhasil menunjukkan prestasi
dan capaian tafsir Faid al-Rahman
dalam menggeser posisi Qur’an di mata santri jawa dari wilayah unthinkable menuju wilayah thinkable. Insya Allah
Comments
Post a Comment