Skip to main content

Promblem Mahasiswa Kini: Menguatnya Spirit Hedonis, Derita Pergerakan Mahasiswa- Sebuah Opini


Promblem Mahasiswa Kini: Menguatnya Spirit Hedonis, Derita Pergerakan Mahasiswa- Sebuah Opini


Menguatnya Spirit Hedonis, Derita Pergerakan Mahasiswa

Oleh: Yahya Yoga Budiman

“Pahami pergantian zaman biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan kebijaksanaan” (-Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, hal.15)

Manusia siapapun orangnya pasti mendambakan kebahagiaan. Tidak mengenal usia, status sosial, latar belakang pendidikan, semua sama saja. Menikmati kesenangan diinginkan semua orang.

Hal ini tidaklah salah. Manusia berhak bahagia. Mungkin sudah menjadi fitrahnya. Namun menjadi masalah ketika keinginan seseorang untuk mencapai kebahagiaan pada akhirnya mengorbankan banyak hal, melupakan banyak hal.

Di sini saya akan coba mengajak para pembaca menengok sebentar pada salah satu pembahasan dalam filsafat moral. Di sana kita akan menjumpai dan mengenal istilah “hedonisme”. Kata “hedonisme” berasal dari bahasa Yunani, asal katanya “hedone” yang berarti “kenikmatan”. Sebuah spirit kuat yang bertekad bulat untuk menghindari kesusahan, kepayahan, kesengsaraan, atau penderitaan dengan menikmati kebahagiaan hidup sebanyak mungkin.

Mahasiswa dan cerita tentang kesulitan-kesulitan pergerakannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah negeri ini. Kongsi politik, kemandegkan, terjebak dalam kebijakan publik. Ceritanyapun tak habis-habis.

Jauh 53 tahun yang lalu pasca kemerdekan, saat umur indonesia masih begitu muda. Muncul gerakan gerakan mahasiswa yang bermacam-macam bentuk dan motifnya. Konon pada waktu itu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jendral Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan berselingkuh dengan angkatan darat hingga tumbuh janin Orba pada rahim masa itu. (Arif Novianti, IndoProgres, Kemana Arah Gerakan Mhs)

Pada tahun 1970an, gerakan mahasiswa terperangkap dalam kerangka pemikiran saja. Gerakan mahasiswa pada waktu itu hanya bergulat dengan teori.

3 sampai 4 tahun setelahnya, muncul peristiwa Malari (Malapeta 15 Januari) akibatnya rezim Soeharto mengambil tindakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Sialnya lagi setelah lahir modernitas, kian banyak muncul masalah-masalah baru. Saya pikir-pikir ini sudah seperti pernyataan yang ditulis Minannullah, dalam Tiga Rangkai Kesulitan Petani Kecil hasil panen yang tidak segera dijemur akan terus menerus tumbuh kembali menjadi benih baru digudang penyimpanan.

Gaya hidup mewah sudah menjadi kebutuhan primer. Menjadi manusia eksklusif tidak boleh tidak. Pergi ke pusat perbelanjaan modern rutin. Memakai pakaian aksesoris serba mahal dan bermerk. Cekrek kiri cekrek kanan tidak boleh ketinggalan, eh jangan lupa juga story ig sebagai bukti.

Terseret tenggelam dalam budaya hedonisme, budaya literasipun sangat jarang bahkan tidak sama sekali mengenal. Lebih tertarik pergi ke tempat mal-mal daripada memenuhi ruang perpustakaan atau taman-taman baca yang ada di kampus.

Di fakultasku, ada salah satu progam kerja Lembaga Kegiatan Mahasiswa, yang menawarkan bahan-bahan bacaan secara gratis yang biasanya berada di emperan-emperan kelas, sama sekali sepi peminat. Kalaupun ada itu bagian dari anggota LKM. Namanya “Taman Goblok” sebuah tempat dimana orang-orang goblok menggali kegoblokannya. Begitulah kiranya teman-teman saya menyebutnya. Saya tunggu sampai sore satupun gak ada yang mampir, saya kira nanti ada temannya. Kebanyakan mereka sudah merasa jeblouk tidak mau berfikir lagi pasca perkuliahan dan ingin segera memanjakan pikiran dan badan. Satu sisi memang di fakultasku, perkerjan rumah itu luar biasanya banyaknya. Bahkan setiap masuk kelas mata kuliah apapun pasti ada. Baik itu yang hanya membuat Power Point, penelitian kecil-kecilan, sampai yang meresume 4 muka folio. Kurang tahu jika di fakultas lain, mungkin sama saja, wong hanya bersebelahan.

Namun walaupun banyak tugas, seharusnya itu tidak menghambat semangat keilmuan seseorang. Bahkan usiapun tak dapat menghambat. Contohnya, beliau, Buya Syafii’i Ma’arif, di usianya yang sudah sangat lanjut, 82 tahun. Kemarin, sewaktu beliau hadir dalam Diskusi Buku: Tema-tema Pokok al-Qur’an, karya Fazlur Rahman, bersama Habib Haidar Bagir (empunya Penerbit al-Mizan) dan Bapak Ichwan (Koordinator Pasca Sarjana Ushuluddin) Rabu (28/02/2018) di Gedung Prof. RHA. Soenarjo lt.1 (dulu namanya Convention Hall) yang diadakan oleh LSQH (Laboratorium Studi al-Qur’an dan Hadist) masih begitu bersemangat untuk berdiskusi. Bahkan beliau beberapa kali terlihat merebut microfon pembicara lain, dan selalu disambungnya. Kalau saya jadi panitiannya saya pasti akan bingung, karena acaranya tidak selesai selesai. Pembicara besar je...mosok distop, Tapi itulah menariknya, semangat keilmuan seorang yang berusia lanjut tidak pudar.

Tak berhenti disitu, dalam pergerakan mahasiswa sebuah kepanitiaan kegiatan adalah hal yang sering dijalani. Ini tidak mudah. Tanpa rencana yang matang, Sumber Daya Manusia cukup, dan biaya. Tidak mungkin berjalan maksimal. Bahkan kepanitiaan sering tombok, karena biaya dari fakultas tidak akan turun jika belum terlaksana kegiatannya.

Namun sekarang biaya tidak terlalu jadi kendala, kepanitiaan sudah biasa nombok. Sekarang yang sering menjadi kendala adalah kesetiakawanan, konsisten serta tanggung jawab masing masing orang, karena sering kali hanya segelintir orang yang berkerja. Faktornya memang bermacam-macam. Namun faktor hedonis ini juga tidak lepas dari penglihatan. Teman satu kepanitiian bahkan satu devisi sudah banting badan ke sana ke mari, mengorbankan waktu, pikiran, tenaga bahkan materi untuk suksesnya kegiatan tersebut. Masih ada yang tega meninggalkan kawannya sendiri. Lebih memilih bermain memanjakan dirinya. Padahal waktu awal sudah bersepakat susah senang bersama dalam pengabdian ini mewujudkan kegiatan mahasiswa yang berguna bagi masyarakat mahasiwa yang lain.

Budaya seperti inilah yang kerap kali membuat sebagian mahasiswa, bahkan mahasiswa yang berada dalam lingkaran organisasi, tidak peka, kurang kritis, bahkan tidak peduli sama sekali dengan kesusahan sesamanya apalagi untuk problem kebangsaan yang terjadi di negeri ini.

Pembaca yang budiman, tahukah saudara, hedonisme hanyalah sepenggal kecil dari bagian besar permasalahan yang menghambat pergerakan mahasiswa. Jika mau diuraikan disini akan terlalu panjang. Namun kini masalah baru yang kita hadapi ialah, kebijakan fakultas yang tidak memperbolehkan Lembaga Kegiatan Mahasiswa mengadakan kegiatan yang berbenturan dengan jam perkuliahan. Menambah repot saja.

Saya ingin menutup tulisan ini, dengan kutipan yang saya dapat dari karya Minannullah yang mengutip Kurt Cobain, “Orang-orang menertawakanku karena aku terlihat berbeda. Sedang aku justru menertawakan mereka yang selalu terlihat sama”
Salam Pergerakan!.

Daftar Bacaan:

1.      Arif Novianti, Kemana Arah Gerakan Mahasiswa. IndoProgres.com (diakses pada tanggal 02/03/2018 pukul 14.52)

2.      Minannullah, Kurt Cobain dan Pribadi Otentik, Medium.com (diakses pada tanggal 02/03/2018 pukul 14.54)

3.      Minannullah, Tiga Rangkai Kesulitan Petani Kecil, Medium.com (diakses pada tanggal 02/03/2018 pukul 14.57)

4.      Budi Sanjaya Saragih. Sistim Filsafat Moral, zaysaragih.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 02/03/2018 pukul 14.57)



Comments