Skip to main content

Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik

  Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik Pencipta: Anonim Perusahaan Rekaman: Antara Group   Aku duwe pitik cilik Wulune blirik Cucuk kuning jengger abang Tarung mesti menang   Sopo wani karo aku Musuh pitikku   Aku duwe pitik tukung Buntute buntung Saben dino mangan jagung Mesti wani tarung   Sopo wani karo aku Musuh pitikku   Aku duwe pitik trondol Wulune protol Mlakune megal megol Tarung mesti notol   Sopo wani karo aku Musuh pitikku  

Cerpen terbaru- Kutemukan Senyum Purna di Tanah Madrasah

Cerpen Terbaru Kutemukan Senyum Purna
Kutemukan senyum Purna di Tanah Madrasah
Oleh : Yahya Yoga Budiman
Bersekolah merupakan kesempatan emas yang tidak semua orang dapat merasakan bagaimana indahnya, bagaimana senangnya, dan bagaimana nikmatnya memperoleh ilmu pengetahuan. Namun sayang fasilitas yang aku terima atas banyaknya permintaanku pada kedua orang tua telah membuatku menjadi sangat menyedihkan. Hp yang aku rawat, yang aku jaga, yang aku bawa kemana-mana, yang menjadi teman di segala suasana, pelan pelan membunuhku menusuk tepat dalam jiwa hingga tetesan nafsu berjalan keluar dengan gembira.
Bersekolah yang menjadi segala idaman, hanya kujadikan sebuah permainan. Berangkat terlambat karena menyepelekan “ah, nanti sajalah berangkatnya, paling hanya dipoint, gampanglah tu,”. Lalu ketika sampai di sekolah, ketika guru sedang menyamaikan materi, pikiran kosong karena tak ada persiapan pada malamnya, maka barang tentu tak kan ada pertanyaan yang terucap. Hp bersiul-siul matanya berkedi-kedip dengan centil, membuat diriku terlena akan pesona surga yang ditawarkannya. Aku pun tak sanggup untuk sekadar menyanggahnya. Baru saja berkata,

“Mohon maaf aku sedang...” belum sempat kuselesaikan ia sudah menyelaku,

“e, yang benar saja fotomu sedang dikomentarI, cepatlah dijawab!”. Maka terbaca sudah kelemahanku.
Kubermanja dengannya dengan tetap terjaga dalam suasana berguru dan kuabaikan kandidat sahabat yang nanti akan selalu menemaniku, di dunia dan akhirat. Tak sanggup kumenerima terlalu lama tatapan monitor. Pada akhirnya kepala ini tak mampu lagi aku kontrol, terjatuhlah pada pangkuan meja berbantal buku, yang memuliakan mata untuk terpejam layu. Saat kubangun pelajaran telah selesai, bel istirahat pun terdengar merdu pada gendang ini, maka bermain menjadi kegiatan selanjutnya, terus saja seperti itu.
Kesempatan emas ini kuhancurkan sendiri. Terlena dalam buaian fasilitas sekilas, yang terlihat pantas berkelas. Hingga sebuah senyuman yang aku temukan di tanah madrasah, datang membangunkanku, menyadarkan akan pentingnya kewajiban, pemahaman, rasa syukur, dan semangat bekerja keras yang selama ini aku ninabobokan sekian lamanya. Entah mengapa senyum itu bisa membuat diriku melayang tinggi ke udara tertiup angin menuju masa lampau yang mengingatkanku akan kedua orang tua, yang susah payah menghidupiku, jiwa dan raga.
Aku tersentak sejenak, senyumku mencair, mataku diam tak bernyawa. Seseorang memotong jalurku. Tapi, tapi, tapi bukan itu alasanku, ada sesuatu yang berbeda. Senyum itu, ya, senyum itu, itulah alasanku. Aku seperti berada di lorong waktu, mengirimku kembali pada masa kecilku dan mengingatkanku pada orang kedua tuaku
“Namanya Purna,” celetuk Zamar dalam geraknya tak peduli. aku kembali tersentak, heran bagaimana bisa ia membaca pikiranku. sempat aku mengira, jangan-jangan dia anak dukun.
“Kau tak usah heran. Kita sudah bersama selama hampir tiga tahun di aliyah tercinta ini. aku tahu dirimu dan kau tahu diriku. Apa kau suka padanya?” Zamar memberiku sebuah pertannyaan yang serius.

“Entahlah, senyum itu mengingatanku pada kedua orang tuaku” aku menjawab dengan masih dalam keadaan heran.
Hari ini menjadi hari akhirat bagiku. Bagaikan tamparan neraka yang membuatku tersungkur. Mengembalikan ingatanku atas segala noda yang kuperbuat, melalaikan kewajiban menjadi seorang pencahari ilmu yang bersyukur.
Pagi yang menyapa santun dan hangat, membangunkanku untuk mengingat. Bahwa hari ini adalah hari dimana papan pengumuman sekolah akan di penuhi dengan banyak kumpulan kertas tertempel. Selama ini aku selalu menyepelekan, yang membuat try uot-try out-ku tak pernah lulus. Banyak para pencahari ilmu yang menanti ia lulus atau tidak. Namun, sedikit yang menantikan, nilainya bagus atau tidak dengan tak memperdulikan ia lulus atau tidak. Aku termasuk kelompok kategori pertama yang hanya mementingkan lulus atau tidak dengan tak memperdulikan sebuah nilai bagus atau tidak.
Semuanya telah melenggang jauh keperguruan tinggi dengan santai tanpa beban. Pepatah berakit-rakit ke hulu berenang ketepian telah terbukti nyata. aku sendiri yang masih berenang timbul tenggelam, sedangkan yang lain, telah berlabuh pada sebuah tepian. Semua lulusan mendapatkan beasiswa, hanya aku seorang yang mendapatkan biayasiswa. Ini adalah jalanku, ini adalah hidupku yang jatuh tersungkur, ganjaran bagi seorang yang kufur.
Untuk melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi, aku harus menjadi tukang becak menggantikan bapakku, yang sering lelah karena usianya yang termakan waktu. Bersama abang-abang becak yang ramah peduli ini, kujadikan becakku, yang ku-modif sedemikian rupa sebagai tempat tidurku dan tempat buku-bukuku untuk hidup bersamaku. Namun senyuman itu tergambar dalam pada ingatanku. Aku tak bisa untuk tak mengiatnya.
Kegiatan MOS mempertemukanku dengan senyum idamanku. Jantungku aku larang untuk berdebar karena aku khawatir ia akan copot dan membunuhku. Aku bertanya-tanya “apakah ini jodoh atau bagaimana?” Senyum itu masih seperti dahulu manis dan memabukkan. Setelah MOS selesai kuajak dia memanjakan perutnya sekadar untuk makan bakso. Butuh sekitar 10 menit untuk sampai dengan berjalan kaki dan kulihat pangkalan becak tempatku, yang berada di belakang kampus, sedang ramai siang ini.
Hari itu adalah awal kuncup cintaku mekar merekah. Hari demi hari, Cinta ini membuat semangatku berkobar membara. Membumi hanguskan kejunuhan dan kemalasan yang tumbuh liar di dalam tubuhku. Malam telah tiba maka tiba saatnya kukayuh becakku dengan jalu. Ramai atau sepi tak membuat para abang-abang becak untuk tak mengingat Tuhan. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk sembahyang dan berdoa pada-Nya.

“Bang jalan rembulan, berapa uang bang?” tanya seorang wanita dari arah belakang.

“E, dekat itu neng. 5 ribu sajalah” jawabku sambil membalikkan badan.

“Hamid!”

Itu Purna. ia kaget dan menghujaniku berbagai pertannyaan. Kenapa aku tak pernah bercerita padanya. Ia nampak marah. Namun takkan kubiarkan kemarahanya menghapuskan senyum madunya. Akan kuceritakan semua alasanku padanya. Kusuruh ia untuk naik dan kuceritakan dalam perjalanan. Hujan tiba-tiba datang menerjang dengan butiran-butirannya yang membuat kulit dan mataku menjadi perih. Lalu Purna membuka jendela belakang yang hanya plastik tebal seperti jendela pada depan dan sampingnya, iapun mengajakku untuk menepi. Mungkin karena melihatku mengayuh pelan dan kerutan mataku yang aku pejamkan separuh. Hujan perlahan tenang, mataku terbangun kembali untuk menuntunku mengantarkan Purna pulang. Namun, Purna menyuruhku untuk menghentikan kayuhku. Aku yang menggigil kedinginan menanyakan kepadanya mengapa ia menyuruhku untuk berhenti. Ia tak menjawabku. Ia turun dan melepaskan jaket yang ia kenakan,

“pakailah, sekadar untuk hangat-hangat, kau tak boleh sakit. Kalau kau sakit siapa yang akan membuat kutersenyum” tegur ia dengan senyuman

“lalu bagaimana dengan mu?”

“ah, bajuku ini lebih hangat dari jaket yang kuberikan padamu. Oh iya, ini ada sepotong roti yang aku dapatkan tadi. Temanku yang memberikannya. Makanlah untuk menambah tenagamu. Aku tahu kau belum makan”
Roti yang Purna berikan langsung aku lahap dalam satu waktu. ini adalah roti istimewa. Roti dari sang senyuman idaman. Lalu ia kusuruh untuk naik dan mulai kudorong becak berat ini dengan sekuat tenaga. Sebenarnya Purna tak terlalu berat, beratnya seperti wanita pada umumnya mungkin sekitar empat puluh sampai lima puluh kilo. Ini adalah berat buku-bukuku yang aku sembunyikan di samping tubuh becakku.
Sesampai di tujuan di depan rumah Purna, nampak seorang laki-laki tampan dan rapi bersandar pada sebuah mobil. Bisa jadi itu mobilnya. Ia menyapa Purna dengan menyodorkan bunga padanya. Saat itu aku terbakar hebat dan kupalingkan cepat wajahku dari laki-laki itu. Memang jika dilihat aku kalah K.O dengannya. Bagaimana tidak dia bermobil sedangkan aku berbecak, bajunya rapi berjas, sedangkan aku kaos beranduk, sepatunya hitam mengkilap jika terkena cahaya lampu, sedangkan aku? jangankan mengkilap, terima berdekil tebal bersandal jepitlah pesonaku.
Malam yang manis sedikit pahit yang terukir dalam kisahku. Kulanjutkan tujuan suci ini dengan membawa becakku ke kampus. Aku senang karena petugas parkir tidak mempersalahkan becakku terpakir di sini, Ia sangat mengerti. Kuliahku kali ini sangat berharga, kami benar-benar mendapat tamparan keras dari bapak dosen yang membuat kami tergugah untuk belajar lebih keras kembali.

“saya datang ke sini susah-susah nunggu bis lama. Habis lima ribu lagi. Harapan saya kesini bisa dapat ilmu dari persentasi kalian. Tapi disini, saya malah lihat penampakan!” kata Bapak Dosen kesal karena presentasi yang disampaikan kawan-kawan tidak serius. Tidak ada sesuatu hal yang baru yang dapat diambil. Pembacaan kasus buruk. dan sangat mengecewakan.
Usai kuliah. Kutemui Purna di taman kampus. Dari jauh senyumnya tetap tampak manis dan memabukkan. Bahkan Jalal akan bingung ketika harus memilih engkau atau Jodha, wahai senyuman. Kusapa ia dengan memberikan salam kepadanya dan ia pun menjawab salamku dengan tak lupa membumbuinya lagi-lagi dengan senyuman. Ia adalah wanita idamanku. Ceria, baik, cerdas, dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi. Aku banyak berbicang dengannya.

“Apakah mungkin bebek menjadi angsa?”tanyaku padanya

“jangankan jadi angsa, kodok pun bisa jadi pangeran, Hamid!”
Jika saja kau tahu, aku ingin menjadi pangeran dalam hidupmu. Tapi aku hanyalah tukang becak. Tak pantas berharap banyak mendapatkanmu.
Siang ini sangatlah panas. Benar-benar memutus semangat orang beraktivitas. Namun berjalan dengan Purna, seperti mendapat angin surga. Aku akan antarkan ia pulang dengan becakku. Benar-benar aku heran, ia tak malu. Di depan teman-teman wanitanya ia terang-terangan menaiki becak di kampus dan berbicara denganku.
Namun di depan kampus sebuah mobil mengklakson dari seberang jalan. Ternyata itu laki-laki yang aku temui sebelumnya di rumah Purna, dan Purna memintaku untuk berhenti dan memberitahuku bahwa ia lupa kalau hari ini ia akan menghadiri acara syukuran yang laki-laki itu adakan karena ia akan kuliah ke luar negeri.
Lalu, aku turun dari becakku, dan mengangkat sedikit roda belakangku untuk mempermudah Purna turun. Setelah turun, Purna tidak menyebrang dengan hati-hati. Mungkin karena terburu-buru ia lupa menengok kanan kiri. Namun untuk soal ini segala alasan tak bisa di terima. Dari arah depan terlihat motor dengan lajunya yang cepat. Aku segera berlari dan menarik tangan Purna sekuat-kuatnya. Namun sayang, posisiku salah. Setelah kumenarik Purna, tubuhku menggantikan posisinya. Aku pun tertabrak dan, tak sadarkan diri.
Perdana kubuka mataku pasca kecelakaan. Kulihat dinding bercat putih kecoklatan, makanan yang bernampan, dan ada infus di lenganku. Aku kira, aku ada di rumah sakit. Dan saat itu juga Purna ada di sampingku tertidur lelap. Ternyata Purna tak sendiri ia bersama laki-laki itu. Ia menyapaku dengan mempertanyakan bagaimana keadaanku. Dan Purna pun terbangun. Purna menangis hebat tersedu-sedu terus mengatakan ini semua salahnya. Aku mencoba menenangkannya dengan suara lirihku, tapi ia tak sanggup melihat diriku yang terbaring lemas. Ia pun berlari keluar sambil menangis. Aku meminta tolong kepada laki-laki ini untuk menenangkannya.

“jangan sampai air matanya mengering, aku mohon”

“baiklah, Hamid, maafkan kami”
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Purna. Sekejap ia datang dalam hidupku, sekejap pula ia hilang. Setelah aku sembuh aku coba mencari dirinya. Ketika kutanya pada teman-temannya, kata mereka ia sudah keluar dari kampus ini. Ia bersekolah di luar negeri bersama kekasihnya. Mendengar itu, hatiku hancur, tubuhku rasanya tak bertulang lagi. Senyumku telah pergi jauh meninggalkanku. Tujuan suci ini, akan berjalan sendiri tanpa dirinya.
Kukebutstudy-ku, hingga kuraih S-1. Segala Puji untuk-Mu, Maha Pemberi Jalan. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-2, maka akan kuselesaikan. Segala Puji untuk-Mu, Maha Pelapang Hidup. Kuselesaikan S-2 dalam 730 hari. Tawaran beasiswa untuk mendapat gelar Doktor di luar negeri bertamu kepadaku. Kusambut ia dengan gembira. Mataku berlinang air mata. Aku sangat bahagia. Lama di negara Jerman, Gelar Doktorku telah kudapat. Ingin rasanya kukembali ke Indonesia, tanah airku tercinta.





Comments

  1. I really appreciate your support on this.
    Look forward to hearing from you soon.
    I’m happy to answer your questions, if you have any.


    คาสิโน

    แจกเครดิตฟรี ฝากถอนง่าย

    แจกเครดิตฟรี ฝากถอนง่าย

    ReplyDelete
  2. Many thanks for your kind invitation. I’ll join you.
    Would you like to play cards?
    Come to the party with me, please.
    See you soon...

    เครดิตฟรี

    คาสิโน

    เครดิตฟรี

    แจกเครดิตฟรี ฝากถอนง่าย

    ReplyDelete

Post a Comment