Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik Pencipta: Anonim Perusahaan Rekaman: Antara Group Aku duwe pitik cilik Wulune blirik Cucuk kuning jengger abang Tarung mesti menang Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik tukung Buntute buntung Saben dino mangan jagung Mesti wani tarung Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik trondol Wulune protol Mlakune megal megol Tarung mesti notol Sopo wani karo aku Musuh pitikku
Sumber Foto: BookMyShow |
Film adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu
masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Film juga merupakan karya
cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Fungsi film
diantaranya adalah sebagai media informasi dan merupakan media sosial karena
melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Pelestarian film sebagai
karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik
dalam skala nasional maupun internasional. Pelestarian film tidak hanya cukup
dengan menyimpan dan memelihara, tetapi film seharusnya dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran.
Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan
dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya
bangsa. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian film tersebut
misalnya Sinematek Indonesia dan Perpustakaan Nasional RI.
Di suatu pagi di sebuah perpustakaan, seorang siswa SMU sedang
sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustaka mengenai Loetoeng
Kasaroeng. Gurunya menyuruh membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat
itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di
perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang
cukup banyak untuk membuat suatu esai. Namun dalam lubuk hatinya, siswa
tersebut ingin sekali melengkapi informasi untuk esai itu dari film
tentang Loetoeng Kasaroeng yang terkenal itu. Tapi, kemana
harus mencarinya?
Di tempat lain, seorang mahasiswa sedang dilanda kebingungan.
Pasalnya, mahasiswa sastra tersebut sedang menyelesaikan skripsi
mengenai dialek masyarakat Jakarta di era 60 sampai 70an. Beberapa
literatur yang dibacanya tidak dapat memberikan gambaran jelas mengenai dialek
yang ditulisnya. Mahasiswa tersebut yakin bahwa jika seandainya ada
koleksi audio visual seperti film yang dapat dia akses dengan mudah,
pastilah skripsinya akan lebih sempurna. Tapi, dimana dapat memperolehnya?
Di sebuah kampus, seorang dosen muda sedang getol-getolnya
melakukan penelitian mengenai cara masyarakat berinteraksi dalam kehidupan
sehari-hari sejak era lima puluhan sampai dekade sembilan puluh. Literatur yang
ada cukup banyak memberi informasi dan gambaran mengenai topik tersebut, tapi
dosen tersebut merasa akan lebih lengkap jika dapat melihat sebuah naskah dalam
bentuk audio visul. Film misalnya. Tapi, dimana mencarinya?
Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup menyadari
tentang keberadaan film sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama
seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman
dan pemirsanya. Terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya,
film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa. Dan sebagai bagian dari
khasanah budaya bangsa, seharusnya film juga mendapat perlakuan yang sama
dengan koleksi lain. Film harus mudah diakses masyarakat luas.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji persoalan kualitas atau mutu
sebuah film, namun lebih fokus pada pelestarian dan akses ke film sebagai
bagian dari informasi yang mencerminkan perkembangan budaya bangsa
Indonesia.
Mengapa film?
Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain, pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah yang baik.
Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain, pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah yang baik.
Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam pasal 1
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan
hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui
proses kimiawi, proses elektronika, atau proses lainnya, dengan atau tanpa
suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem mekanik,
elektronik dan/atau lainnya. Sedangkan film maksudnya adalah film yang
secara keseluruhan diproduksi oleh lembaga pemerintah atau swasta atau
pengusaha film di Indonesia, atau yang merupakan hasil kerja sama dengan
pengusaha film asing.
Pengertian di atas jelas mengungkapkan bahwa film adalah sebuah
proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk
gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah
film. Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan
sebagainya. Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan
sejumlah orang, modal, dan manajemen. Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya
film merupakan komoditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Dinilai
dari sudut mana pun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal,
termasuk perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia
yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.
Fungsi lain tentang film adalah sebagai media informasi. Seperti
halnya dengan buku atau karya cetak lainnya, fotografi, rekaman suara, lukisan
atau karya seni lainnya, film merupakan media penghantar informasi kepada
masyarakat. Informasi yang tersaji dalam sebuah film memberikan pengetahuan
baru bagi masyarakat. Banyak aspek yang dapat disajikan dalam sebuah film,
misalnya: alur cerita, karakter tokoh atau pemain, gaya bahasa, kostum,
ilustrasi musik, dan setting. Apapun jenis atau temanya, film selalu
meninggalkan pesan moral kepada masyarakat yang dapat diserap dengan mudah
karena film menyajikan pesan tersebut secara nyata. Gambar hidup yang
ditampilkan di film memberi dampak yang berbeda dari untaian kata-kata dalam
sebuah buku. Mencerna sebuah film dapat dikatakan lebih mudah daripada mencerna
sebuah tulisan. Maka sebetulnya film sangat strategis dijadikan media
komunikasi bagi masyarakat banyak.
Disamping sebagai media komunikasi, film juga merupakan dokumen
sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Melalui
film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian masyarakat,
tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial masyarakat
pada era tertentu. Sesuatu yang sulit kita bayangkan jika membaca sebuah buku,
dengan mudah dapat disajikan di film. Contohnya, di sebuah buku kita dapat
mengetahui bahwa cara berpakaian anak muda tahun 70 an adalah gaya cutbrai
dengan jambul ala Elvis Presley. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kitra
perlu memahami siapa itu Elvis Presley dan bagaimana gaya berpakaiannya. Dalam
film, gaya itu dengan mudah kita tahu dan kita lihat tanpa memerlukan
intelijensi atau kemampuan verbal yang tinggi. Karena itu film juga
disebut sebagai media edutainment, di mana selain mendidik film
juga harus menghibur. Mohon dicatat, unsur pedagogi (pendidikan)lah yang
seharusnya menjadi yang utama dalam sebuah film. Bukan hiburan. Melihat
statusnya yang dihubungkan dengan tatanan ekonomi karena menyangkut produksi,
distribusi, eksibisi dan masyarakat penonton, maka film akhirnya menjadi suatu
produk perdagangan yang vital dan menjadi lapangan kerja yang potensial.
Hal lain yang menonjol dari film adalah bahwa sebuah film
tercipta atas kerjasama berbagai profesi. Walaupun mereka menyebutnya 'pekerja
seni' tapi setiap pihak yang terlibat sesungguhnya memiliki kompetensi yang
berlainan. Sutradara misalnya, disamping harus paham isi skenario dia juga
harus mengerti teknik pengambilan gambar, musik yang pas untuk tema tertentu,
ekspreasi yang tepat untuk lakon tertentu, dan sebagainya. Lalu kameramen,
disamping harus menguasai teknik-teknik pengambilan gambar, dia juga harus
mengenal karakter pemain sehingga dapat mengambil sudut-sudut yang pas ketika
si pemain (artis) berakting. Artis A mungkin harus disorot dari samping untuk
memberi kesan tertentu, sedangkan artis B harus disorot dari depan. Begitu juga
dengan pihak lain, seperti artis, seksi kostum, penata musik, penata lampu, dan
sebagainya. Bayangkan, betapa rumitnya memroduksi sebuah film karena harus
melibatkan berbagai pihak. Karena itu seringkali orang mengatakan bahwa sebuah
film yang bagus sama dengan sebuah kerjasama yang brillian.
Dari sisi lain, film juga merupakan koleksi local content (muatan
lokal) yang sangat khas. Jika buku dapat diterjemahkan dengan persis ke dalam
berbagai bahasa tanpa mengubah isi dan maknanya, maka film tidak mungkin
melakukan itu. Sebuah film asing misalnya, jika disadur menjadi film lokal dan
dimainkan oleh artis lokal, maka isi dan maknanya pasti berubah, sekalipun
tidak ada teks yang diubah. Hal ini dapat terjadi karena kesan dan pesan dari
sebuah cerita dalam film akan sangat tergantung pada cara pemain memainkannya.
Film 'Ayat-ayat Cinta' misalnya. Dengan cerita yang sama pasti akan memberikan
makna yang berbeda jika dimainkan oleh artis Mesir dan syutingnya berlokasi di
Arab Saudi. Ini menunjukkan betapa sebuah film tidak pernah terlepas dari
masyarakatnya. Inilah yang paling utama. Film selalu menjadi cerminan
masyarakatnya. Ada ide-ide atau pesan-pesan tertentu yang selalu ingin
disampaikan dalam sebuah film. Jika kita amati, film-film Hollywood selalu
bertema : "kemenangan atau kehebatan Amerika". Apapun jalan
ceritanya, film Hollywood selalu berakhir dengan tema itu. Tak dapat dipungkiri
bahwa Hollywood cukup berani dan terbuka mengangkat kasus-kasus sensitif ke
layar lebar. Fakta-fakta yang ada dengan gamblang ditampilkan di layar,
tapi ending nya selalu diakhiri 'kemenangan'. Kalau
dipikir-pikir, dalam kenyataannya, memang itulah Amerika. Selalu ingin menjadi
nomor satu. Selalu ingin menjadi pemenang. Dan tanpa kita sadari, setiap kali
selesai menonton film Hollywood, rasa kagum kita semakin bertambah pada negara
ini. Betapa hebatnya teknologi mereka. Betapa canggihnya sistem intelijen
mereka. Betapa mengagumkannya kemampuan militer mereka. Kekaguman yang tercipta
hanya karena menonton sebuah film besutan mereka. Secara mudah dapat dikatakan
bahwa Hollywood berhasil membentuk opini masyarakat dunia mengenai Amerika
melalui film. Bayangkan! Begitu juga dengan film-film Bollywood. Tema-tema yang
diangkat identik dengan budaya dan persoalan-perssoalan khas masyarakat di
negara tersebut. Maka, film memang sesuatu yang khas, unik, dan nyata.
Mengapa harus dilestarikan?
Mengacu pada alasan-alasan di atas, semestinya tidak perlu ada pertanyaan "mengapa film harus dilestarikan?" Sudah sangat jelas bahwa film adalah salah satu bukti sejarah yang dapat dicerna masyarakat dengan mudah. Pelestarian film sebagai karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik dalam skala nasional maupun internasional. Tak kurang dari UNESCO yang telah menerbitkan rekomendasi bagi negara-negara anggotanya untuk perlindungan dan pelestarian citra bergerak sebagai khazanah budaya bangsa, yang tertuang dalam Recommendation for the safeguarding and preservation of moving images (UNESCO, 1980). Rekomendasi ini menekankan bahwa pada prinsipnya semua citra bergerak produksi nasional harus dianggap oleh negara sebagai bagian integral dari khazanah citra bergerak (moving image heritage). Indonesia sendiri sudah menerbitkan UU No. 4 Tahun 1990 sebagai landasan hukum pelaksanaan serah simpan karya cetak dan karya rekam. UU ini ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa karya cetak dan karya rekam merupakan salah satu hasil budaya bangsa yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi, serta pelestarian kekayaan budaya bangsa berdasarkan Pancasila. Disamping itu dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional. Maka jelas sekali bahwa pelestarian film menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Perlu ditekankan pula bahwa persoalan pelestarian memang bukan persoalan mutu. Dari segi kualitas, mungkin kebanyakan film kita hanya enak dilihat, namun tidak enak dinikmati. Tapi soal mutu atau kualitas tak layak dijadikan asalan untuk tidak memperhatikan pelestariannya. Hikmat Darmawan (redaktur rumahfilm.org) mengatakan betapa menariknya, misalnya, jika kita dapat menjajarkan sejumlah film dengan setting Jakarta dari era 1950-an hingga era 1990-an? Pasti akan terkumpul banyak informasi sosio-kultural yang kaya tentang proses Jakarta menjadi metropolitan, misalnya: dari masa jalanan lengang melompong hingga masa munculnya rimba beton; atau dari masa Jakarta penuh dengan sepeda dan becak, lalu masa oplet, motor trail hingga masa mobil sport; atau dari masa kaum lelaki bercelana jengki, lalu beralih ke model cutbrai, hingga masa jeans belel; atau dari masa potongan rambut wanita model punk rock, lalu model Lady Diana, kemudian booming model Demi Moore, sampai model shagy dan lyer. Rekaman seperti itu bukan semata-mata untuk nostalgia, tapi terutama demi kesadaran akan sejarah. Melalui film generasi muda dapat melihat dan "merasakan" rangkaian sejarah masa lalu. Mestinya film juga bisa menghidupkan sejarah. Karakter mediumnya yang audio-visual, yang lebih mudah diserap oleh massa daripada bacaan, akan membantu sejarah menemui publik yang luas.
Mengacu pada alasan-alasan di atas, semestinya tidak perlu ada pertanyaan "mengapa film harus dilestarikan?" Sudah sangat jelas bahwa film adalah salah satu bukti sejarah yang dapat dicerna masyarakat dengan mudah. Pelestarian film sebagai karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik dalam skala nasional maupun internasional. Tak kurang dari UNESCO yang telah menerbitkan rekomendasi bagi negara-negara anggotanya untuk perlindungan dan pelestarian citra bergerak sebagai khazanah budaya bangsa, yang tertuang dalam Recommendation for the safeguarding and preservation of moving images (UNESCO, 1980). Rekomendasi ini menekankan bahwa pada prinsipnya semua citra bergerak produksi nasional harus dianggap oleh negara sebagai bagian integral dari khazanah citra bergerak (moving image heritage). Indonesia sendiri sudah menerbitkan UU No. 4 Tahun 1990 sebagai landasan hukum pelaksanaan serah simpan karya cetak dan karya rekam. UU ini ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa karya cetak dan karya rekam merupakan salah satu hasil budaya bangsa yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi, serta pelestarian kekayaan budaya bangsa berdasarkan Pancasila. Disamping itu dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional. Maka jelas sekali bahwa pelestarian film menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Perlu ditekankan pula bahwa persoalan pelestarian memang bukan persoalan mutu. Dari segi kualitas, mungkin kebanyakan film kita hanya enak dilihat, namun tidak enak dinikmati. Tapi soal mutu atau kualitas tak layak dijadikan asalan untuk tidak memperhatikan pelestariannya. Hikmat Darmawan (redaktur rumahfilm.org) mengatakan betapa menariknya, misalnya, jika kita dapat menjajarkan sejumlah film dengan setting Jakarta dari era 1950-an hingga era 1990-an? Pasti akan terkumpul banyak informasi sosio-kultural yang kaya tentang proses Jakarta menjadi metropolitan, misalnya: dari masa jalanan lengang melompong hingga masa munculnya rimba beton; atau dari masa Jakarta penuh dengan sepeda dan becak, lalu masa oplet, motor trail hingga masa mobil sport; atau dari masa kaum lelaki bercelana jengki, lalu beralih ke model cutbrai, hingga masa jeans belel; atau dari masa potongan rambut wanita model punk rock, lalu model Lady Diana, kemudian booming model Demi Moore, sampai model shagy dan lyer. Rekaman seperti itu bukan semata-mata untuk nostalgia, tapi terutama demi kesadaran akan sejarah. Melalui film generasi muda dapat melihat dan "merasakan" rangkaian sejarah masa lalu. Mestinya film juga bisa menghidupkan sejarah. Karakter mediumnya yang audio-visual, yang lebih mudah diserap oleh massa daripada bacaan, akan membantu sejarah menemui publik yang luas.
Bagaimana melestarikannya?
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya. Tidak rusak, tidak musnah. Demikian juga halnya dengan film. Tidak cukup dengan menyimpan dan memelihara, film seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Jika hanya dengan menyimpan dan memelihara, sejujurnya semua film pastilah disimpan di tempat tertentu. Minimal produsernya pasti menyimpan arsip film tersebut. Tapi bagaimana masyarakat tahu bahwa sebuah film disimpan di tempat tertentu. Terlebih lagi bagaimana jika masyarakat ingin mengakses film tersebut? Kemana harus mencarinya? Lembaga apa yang harus dihubungi? Maka fokus perhatian kita seharusnya pada persoalan akses dan pemanfaatan.
Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya bangsa. Dan untuk itu film tersebut harus berada dalam jangkauan masyarakat, di tempat yang dapat dengan mudah diakses. Film seharusnya diperlakukan sama dengan koleksi buku, yang dengan mudah dapat diperoleh di perpustakaan, menjadi milik publik karena film juga mengandung nilai sejarah.
Menurut Hikmat, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa pelestarian harus diawali dengan apresiasi. Persoalannya adalah kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk memelihara sesuatu masih sangat minim, apalagi kalau menyangkut milik umum. Hal ini dapat kita buktikan dari perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli kepada fasilitas umum, seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak), halte (penuh dengan coretan dan pengrusakan), dan lain-lain. Indikasi ini juga terasa sampai ke hal-hal yang lebih serius, termasuk dalam hal pelestarian film. Artinya, belum muncul iklim preservasi yang optimal. Keinginan memelihara suatu produk budaya biasanya bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang menganggap produk tersebut penting bagi mereka.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya. Tidak rusak, tidak musnah. Demikian juga halnya dengan film. Tidak cukup dengan menyimpan dan memelihara, film seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Jika hanya dengan menyimpan dan memelihara, sejujurnya semua film pastilah disimpan di tempat tertentu. Minimal produsernya pasti menyimpan arsip film tersebut. Tapi bagaimana masyarakat tahu bahwa sebuah film disimpan di tempat tertentu. Terlebih lagi bagaimana jika masyarakat ingin mengakses film tersebut? Kemana harus mencarinya? Lembaga apa yang harus dihubungi? Maka fokus perhatian kita seharusnya pada persoalan akses dan pemanfaatan.
Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya bangsa. Dan untuk itu film tersebut harus berada dalam jangkauan masyarakat, di tempat yang dapat dengan mudah diakses. Film seharusnya diperlakukan sama dengan koleksi buku, yang dengan mudah dapat diperoleh di perpustakaan, menjadi milik publik karena film juga mengandung nilai sejarah.
Menurut Hikmat, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa pelestarian harus diawali dengan apresiasi. Persoalannya adalah kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk memelihara sesuatu masih sangat minim, apalagi kalau menyangkut milik umum. Hal ini dapat kita buktikan dari perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli kepada fasilitas umum, seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak), halte (penuh dengan coretan dan pengrusakan), dan lain-lain. Indikasi ini juga terasa sampai ke hal-hal yang lebih serius, termasuk dalam hal pelestarian film. Artinya, belum muncul iklim preservasi yang optimal. Keinginan memelihara suatu produk budaya biasanya bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang menganggap produk tersebut penting bagi mereka.
Merujuk pada konsep pelestarian, penulis menganggap bahwa ada tiga
hal pokok yang menjadi permasalahan utama dalam pelestarian film, yaitu :
pengumpulan (akuisisi), pengolahan, dan akses.
Pengumpulan (akuisisi),
merupakan kegiatan awal yang menentukan sebuah film akan disimpan. Pemerintah
atau lembaga terkait harus dapat meyakinkan bahwa setiap film yang dibuat harus
memiliki arsip di tempat tertentu. Pengumpulan juga dapat menjadi gambaran
tingkat kreatifitas pekerja seni dari segi kuantitas. Masyarakat dengan mudah
dapat mengetahui berapa jumlah film yang dibuat dalam satu tahun. Akuisisi
dapat melibatkan lembaga pendidikan, rumah produksi, pekerja seni, dan
perpustakaan.
Pengolahan, berkaitan
dengan pemeliharaan agar film tersebut tetap utuh seperti aslinya. Mengingat
fisik film yang cenderung rapuh, maka diperlukan kebijakan pengolahan yang
tepat, khususnya menyangkut fasilitas penyimpanan agar tidak cepat rusak.
Pengolahan juga berkaitan dengan akses kepada masyarakat luas. Perkembangan
teknologi dewasa ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengolahan dengan
mudah. Teknologi digital dan penyimpanan (storage) memungkinkan kita
untuk mengolah koleksi film dan menjadikannya bagian dari bahan pustaka.
Pengolahan dapat melibatkan Perpustakaan Nasional RI atau perpustakaan lainnya.
Akses, maksudnya
adalah bagaimana masyarakat dapat mengakses koleksi film dengan mudah. Selama
ini pemerintah dan pekerja seni lebih fokus pada pembuatan dan penyimpanan
film, tapi jarang memikirkan persoalan akses. Jika kita sepakat bahwa film
adalah cerminan sejarah dan budaya bangsa, bukankah seharusnya film juga
menjadi milik publik? Jika buku dengan mudah dapat dibeli di toko buku atau
diakses di perpustakaan, bukankah film juga seharusnya "mudah"
diakses? Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa film harus tersedia di toko
buku atau di perpustakaan dalam bentuk keping-keping CD, tapi minimal film
harus memiliki jangka waktu "eksklusif". Contohnya, satu tahun
setelah peredarannya, sebuah film seharusnya menjadi milik publik, dapat
diakses dengan mudah. Akses ini sangat penting karena sesungguhnya sesuatu yang
secara fisik ada, tidaklah berarti kalau tidak dilihat dan diketahui orang
lain. Film hanya dapat lestari jika masyarakat memang mengetahui isi film
tersebut, dan untuk itu aksesnya harus dipermudah. Akses dapat dilakukan di
perpustakaan-perpustakaan yang memang dekat dengan masyarakat luas.
Siapa yang harus melestarikan?
Indonesia sebetulnya merupakan negara yang cepat tanggap terhadap perlunya arsip film, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan oleh riwayat Sinematek Indonesia (SI). SI pertama kali dirintis Januari 1971 dalam lingkungan LPKJ (sekarang IKJ) dengan nama Pusat Dokumentasi Film. Saat itu lembaga ini hanya menghimpun dokumen-dokumen untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia untuk kepentingan kurikulum di LPKJ. Jadi, bukan melestarikan arsip film. Pada tahun 1973, setelah mendapatkan orientasi di Nederland dan Eropa, muncullah gagasan mendirikan arsip film. Gagasan ini berjalan terseok-seok karena persoalan dana. Dana hanya didapat sedikit dari subsidi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta.
Indonesia sebetulnya merupakan negara yang cepat tanggap terhadap perlunya arsip film, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan oleh riwayat Sinematek Indonesia (SI). SI pertama kali dirintis Januari 1971 dalam lingkungan LPKJ (sekarang IKJ) dengan nama Pusat Dokumentasi Film. Saat itu lembaga ini hanya menghimpun dokumen-dokumen untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia untuk kepentingan kurikulum di LPKJ. Jadi, bukan melestarikan arsip film. Pada tahun 1973, setelah mendapatkan orientasi di Nederland dan Eropa, muncullah gagasan mendirikan arsip film. Gagasan ini berjalan terseok-seok karena persoalan dana. Dana hanya didapat sedikit dari subsidi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta.
Pada tanggal 20 Oktober 1975, bersamaan dengan berdirinya
gedung/lembaga Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, berdirilah Sinematek Indonesia
(SI) dengan SK Gubernur DKI. SI merupakan arsip film pertama di Asia tenggara.
Tahun 1978 SI diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des
Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam
asosiasi internasional.
Biaya operasional disubsidi oleh Pemda DKI. Sejak tahun 1978 subsidi dicabut, karena Pemda DKI merasa tidak bertanggung jawab membina film. Selanjutnya SI mengalami persoalan berkaitan dengan dana. Namun terlepas dari persoalan di atas, yang jelas tujuan didirikannya SI adalah sebagai:
1) menjadi arsip-arsip film;
2) menjadi pusat pengumpulan dan pengolahan data; sumber rujukan bagi studi dan penelitian mengenai film di Indonesia;
3) menjadi pusat kegiatan penelitian kegiatan film;
4) mendukung industri film dalam negeri dan Asia dengan ketersediaan bahan-bahan yang terdokumentasikan serta data yang otentik;
5) meningkatkan pengetahuan orang secara non didaktif tentang film;
6) memberikan layanan sebaik mungkin kepada masyarakat untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap film;
7) menjadi pusat hubungan-hubungan antara dunia perfilman dan dunia keilmuan
Tujuan didirikannya SI jelas-jelas mendukung pelestarian film. Namun SI bukanlah satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian tersebut. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) termasuk lembaga yang memiliki kewajiban menyimpan seluruh karya cetak dan karya rekam yang ada di negeri ini. Berdasarkan Keppres No.50 Tahun 1998, Deputi Pengembangan Bahan Pustaka dan Layanan Informasi merupakan unit kerja yang terlibat secara langsung dalam upaya pemberlakuan UU No.4 Tahun 1990 untuk film cerita dan dokumenter. Lalu ada lembaga lain, yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang juga mempunyai tanggung jawab menyimpan arsip film. Walaupun dengan proporsi yang berbeda, ke tiga lembaga di atas memiliki tanggung jawab nyata dalam pelestarian film, namun keterlibatan ini juga menimbulkan ketidakjelasan karena terjadinya duplikasi pekerjaan dan tanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan yang tegas, relevan, serta menyediakan dana yang memadai. Kebijakan yang dimaksud adalah menyangkut pembuatan peraturan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan melibatkan masyarakat seni menyusun kebijakan tersebut. Sedangkan mengenai dana, secara formal pemerintah harus dengan tegas menjadikan pelestarian film sebagai bagian integral dari kegiatan pelestarian sejarah dan budaya bangsa. Disamping itu juga pemerintah perlu melibatkan perusahaan atau para pengusaha untuk memberi kontribusi dalam hal dana, misalnya dengan cara memberi kesempatan beriklan di film tersebut atau sebagai bagian dari kegiatan sosial perusahaan. Di sisi lain, pemerintah juga dapat memberdayakan unsur pendidikan melalui sekolah untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pelestarian film sejak dini. Kurikulum di sekolah dapat dirancang sedemikian rupa yang mengarah pada apresiasi para siswa terhadap film, misalnya dengan mengadakan acara menonton bersama atau membahas suatu film secara bersama-sama. Kegiatan yang lebih bermanfaat tentu dengan mengadakan kajian-kajian atau penelitian ilmiah tentang film.
Pekerja seni sejujurnya memiliki peran besar yang tanpa disadari amat berpengaruh terhadap apresiasi masyarakat akan film. Sebagaimana dikatakan Hikmat Darmawan, pelestarian harus dimulai dari apresiasi. Menurut penulis, apresiasi hanya dapat tercipta jika pekerja seni memahami apa yang dibutuhkan masyarakat. Artinya, masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap film jika film tersebut memang sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang ini, pekerja seni, para pembuat film atau sinetron sering sekali mengumbar pernyataan bahwa masyarakat kita butuh mimpi, dan itulah yang diberikan oleh dunia sinema. Para sineas selalu b
erpatokan pada apa yang mereka sebut dengan "pasar".
Menurut mereka, apa yang sedang booming di masyarakat, itulah pasar. Kalau saat
ini semua layar lebar dan layar kaca penuh dengan adegan "hantu",
maka pasarnya memang demikian. Mungkin betul. Tapi kita lupa bahwa pasar itu
sebetulnya dibuat dan ditentukan oleh para pembuat film itu sendiri. Penonton,
sebagai konsumen tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa mereka tidak
menginginkan film atau sinetron seperti itu. Penonton sebetulnya hanya sebagai "korban".
Jika sampai saat ini bioskop masih tetap penuh, sebetulnya karena penonton
memang tidak punya pilihan. Sementara mereka butuh hiburan. Maka, kalau
ditelisik lebih mendalam, bukan masyarakat yang menentukan pasar, tapi pembuat
film lah yang "memaksa" masyarakat membuat pasar itu. Itu sebabnya,
masyarakat mudah sekali beralih jika ada pembanding, film asing misalnya.
Menurut penulis, sudah saatnya para pekerja seni khususnya pembuat
film memiliki filosofi atau komitmen bahwa tujuan membuat film adalah untuk
mendidik, tidak semata-mata menghibur. Para artis, sutradara, dan segenap
komponen terkait harus terus mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan selama
ini. Apakah akting yang mereka tampilkan di layar lebar atau layar kaca
hanyalah dalam rangka melaksanakan pekerjaan sebagai artis? Ataukah hanya untuk
popularitas dan kenyamanan finansial? Kalau dipikir-pikir, para pekerja seni
tidak beda dengan pekerja di bidang pendidikan: guru, dosen, penulis,
peneliti. Masyarakat akan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap film,
jika apa yang disajikan di layar lebar benar-benar memberikan sesuatu yang
bersifat positif bagi mereka. Bukan mimpi. Bukan akting. Sebagaimana penulis
uraikan di atas, film-film Hollywood dan Bollywood selalu mencerminkan siapa
mereka. Bangsa-bangsa lain menjadikan film sebagai media mentransfer ideologi
dan budaya mereka kepada masyarakat dunia, tanpa harus membuat penontonnya
bermimpi. Kenapa kita tidak bisa melakukan itu?
Di pihak lain, masyarakat harus terus memberikan masukan positif
dan terlibat aktif dalam pelestarian film. Banyak kalangan yang dapat berperan
dalam hal ini, seperti masyarakat pencinta dan pengamat film, wartawan film,
dan kalangan akademik. Masyarakat harus berani menentukan pilihan sehingga para
pekerja seni terus meningkatkan kualitas profesional mereka. Penonton harus
berani membentuk pasar yang memaksa pekerja seni terus belajar dan mengakaji
peran strategis mereka dalam masyarakat.
Comments
Post a Comment