Lirik Aku Duwe Pitik Oleh Ida Laila dan Ernie Rosita: Lagu Dolanan Anak Klasik Pencipta: Anonim Perusahaan Rekaman: Antara Group Aku duwe pitik cilik Wulune blirik Cucuk kuning jengger abang Tarung mesti menang Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik tukung Buntute buntung Saben dino mangan jagung Mesti wani tarung Sopo wani karo aku Musuh pitikku Aku duwe pitik trondol Wulune protol Mlakune megal megol Tarung mesti notol Sopo wani karo aku Musuh pitikku
Sumber Foto: Sebuah Laman Bernama "Cak Nun" |
Emha Ainun
Nadjib
Emha dilahirkan
di Jombang, Jawa Timur 27 Mei 1953. Mendapat pendidikan di Pondok Gontor,
kemudian melanjutkan studinya ke SMA Paspal di Yogyakarta. Lulur 1971 dan
sempat kuliah beberapa bulan di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Pernah jadi wartawan ataupun redaktur Harian Masa Kini di
Yogyakarta. Sekitar tahun 1980-an duduk sebagai sekertaris Dewan Kesenian
Yogyakarta. Pernah memenangkan sayembara penulisan puisi Tifa Sastra UI.
Memenangkan juga sayembara cerpen Radio ARH serta penulisan esai Dewan Kesenian
Jakarta. Dua kumpulan puisinya yang terbit berjudul: M Frustasi dan Sajak
Sepanjang Jalan.
Cerpenis ini
tulisannya banyak dimuat diberbagai majalah dan surat kabar, seperti: Horison,
Basis, Budaya Jaya, Kompas, Sinar Haparan, Suara Karya, Berita Buana, Pelita,
Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya Emha
Ainun Najdib lebih terkedepankan sebagai penyair dan esais ketimbang penulis
cerpen. Sebab, kedua bentuk karya sastra itulah yang lebih dahulu digumulinya. Tapi
sekitar tahun 80-an cerpenya mengalir deras di majalah dan surat kabar tersebut
di atas.
Dari sudut
bentuknya, cerpen-cerpen Emha terasa lain dari karya cerpenis terdahulu. Ia menyajikan
cerpen berbentuk esai. Cerpen tidak bercerita tetapi mengemukakan gagasan. Selain
itu, kalau dikaji sudut tema dan isinya, cerpen-cerpen Emha menyajikan tema
keislaman yang kuat. Bila Muhammad dan Kutowijiyo merintis cerpen-cerpen dengan
tema keislaman yang membuka berbagai masalah, nampaknya Emha ingin menukik
lebih dalam lagi. Ia sudah melejit dari iman dogmatik, tetapi lebih jauh
mempertanyakan hal-hal yang transendental, baik harkat dan hakikat diri-Nya
maupun diriku dipertanyakan dan dikonfrontor secara tegas dan berani.
Kecenderungan Emha
menyajikan cerpen-cerpen yang mengeleminasi unsur fisik, membuat ceritanya
terasa aneh dan irra-fiksi. Cerita-cerita semacam ini jadi logis, sebab realitas
sastra sendiri merupakan realitas imajiner. Sebab itu dikenal dalam sastra,
bukan logis dan tidak logis, bukan rasional maupun irrasional, tetapi berhasil
tidaknya perlogisan itu. Dalam artian bahwa karya itu masih bisa diikuti, masih
bisa dinalari, masih bisa ditafsir walau terasa silogis. Sebab logika sastra
memang logika imajiner. Logika pembayangan, bukan realitas formal. (Korrie
Layun Rampan, Dalam Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan,
hal.304)
Comments
Post a Comment